Selasa, 15 November 2011

Potensi Kopi di Kalimantan Selatan
 
Produksi Perkebunan Kopi untuk Tahun 2006 Terdiri dari : Produksi Perkebunan Rakyat :2,810 Ton, Untuk Tahun 2007 terdiri dari Produksi Perkebunan Rakyat :2,870 Ton, Untuk tahun 2008 yang terdiri dari Perkebunan Rakyat : 2,587 Ton,Untuk Tahun 2009 terdiri dari : Produksi Perkebunan Rakyat :1,445 Ton, Untuk tahun 2010 terdiri dari : Produksi Perkebunan Rakyat :1,209 Ton statusnya masih sementara
Produksi 2010 (Ton) 1.209
Produksi 2009 (Ton) 1.445
Produksi 2008 (Ton) 2.587
Produksi 2007 (Ton) 2.870
Produksi 2006 (Ton) 2.810

Omzet kebun kopi ilegal capai miliaran rupiah

Selasa, 4 Oktober 2011 06:02 WIB | 976 Views
Bandarlampung (ANTARA News) - Kabag Ops Polda Lampung, Kombes Pol Rahyono, mengatakan, perambah bisa memperoleh penghasilan sampai Rp30 miliar per tahun dari perkebunan kopi di kawasan konservasi.

"Mereka hanya membutuhkan waktu 10 tahun untuk menghasilkan Rp30 miliar per tahun dari tanaman kopi yang mereka tanam dikawasan konservasi," katanya saat dihubungi ketika sedang melakukan operasi penurunan perambah di kawasan Rataagung, Lemong, Krui, Lampung Barat, Senin.

Menurut dia, selama ini petugas sudah melakukan sosialisasi agar perambah turun dari kawasan karena kesadaran diri sendiri.

"Targetnya, hutan yang harus diselamatkan sebanyak 9.600 Hektare selama satu tahun," ujarnya.

Rahyono menambahkan, jika dilihat dari unsur kemanusiaan, pihaknya tidak tega untuk mematikan pencaharian warga. "Namun, kepentingannya penurunan perambah ini untuk keselamatan kita bersama dan generasi berikutnya," imbuhnya.

Dia mengatakan, pihaknya tidak akan menindak secara hukum, selama warga yang masih menghuni dikawasan itu bersedia turun tanpa paksaan.

Sementara, operasi penurunan perambah hutan mengerahkan 6.500 personel dari unsur TNI dan Polri. Mereka terbagi dalam 30 tim yang bergerilya selama lima hari ke depan.

setiap tim dibekalkan senso untuk mematikan tanaman perkebunan perambah dan parang serta peralatan pemusnah lainnya.

Selain itu, petugas juga dibekalkan data lapangan yang harus dipertanggungjawabkan pada ketua tim masing-masing.

Kepala Balai TNBBS Lampung, John Keneddy, mengatakan, operasi itu sudah berjalan sebanyak tiga kali.

Namun, demikian, warga masih banyak yang naik kembali pasca operasi usai.

John mengakui, kelemahan dalam operasi tersebut adalah minimnya tingkat penjagaan setelah operasi besar-besaran.

"Kali ini kami menargetkan perambah tidak lagi kembali karena pemukiman dan perkebunan mereka sudah kami musnahkan. Jadi tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk kembali ke kawasan," katanya.  (ANT-046/A027)

Kabupatenku Ditengah Kebun Kopi

Oleh Win Ruhdi Bathin*
Karena sudah terbiasa hidup ditengah kebun kopi bersama keluarga dan saudara yang menjadi petani kopi. Kopi menjadi biasa saja.Sudah tradisi dimana setiap keluarga di Gayo, jika tidak bekerja dengan pemerintah ya, jadi petani kopi.
Membuka lahan perkebunan baru merupakan salah satu kebiasaan warga Gayo. Dalam istilah pepatah Gayo sering diucapkan, “sempit ngenaken lues. Nyanya ngenaken temas”,. Maksudnya hijrah dari suatu kampong atau keadaan guna merubah hidup lebih baik. uten berpancang, belang bertene.
Jika seorang anak sudah tamat sekolah menengah atas, dan tidak melanjutkan pendidikan, dia akan pergi bersama warga sekampung membuka lahan hutan untuk dijadikan kebun kopi. Biasanya, warga satu Kampung, akan membentuk suatu kelompok mencari lahan baru.
Jamaknya, hutan yang akan di tebang ini dijaga dan dikuasai seorang warga setempat yang telah terlebih dahulu menetap disana. Orang seperti ini disebut Pawang Uten (Hutan) . Siapapun yang akan membuka lahan, akan ditunjukkan sang pawang hutan, kawasan mana yang belum memiliki pemilik.
Pawang hutan tidak membatasi berapa   hektar lahan yang akan diklaim. Yang penting uang pancang diberikan pada pawang hutan. Satu pancang ukurannya adalah dua hektar . Biasanya harga satu pancang tidak mahal. Hanya ratusan ribu saja.
Setelah sepakat, mulailah hutan yang sudah dibagikan tersebut dirintis, ditebang. Tak ada pilihan lain. Hanya menjadi petani kebun kopi saja yang menerima lapangan pekerjaan paling besar  dan luas.  Apalagi topografi Takengon diwilayah tengah Aceh dan merupakan dataran tinggi bagian dari rangkaian Bukit Barisan. Juga sebagian wilayahnya adalah Kawasan Ekosistim Leuser yang megah itu.
Meski aku bukan dari keluarga petani, karena Bapak adalah pns di dinas kesehatan sementara ibu adalah guru, namun berkebun kopi “seperti” sebuah kewajiban. Semac`am faham. Tidak lengkap hidup tanpa kebun kopi.
Bapakku, saat sebelum menjadi pns dan masih lajang  (disebut dengan sebutan Pak Mantri atau Menteri). Mengikuti kebiasaan “Munene”, atau mencari lahan perkebunan baru,Puluhan tahun silam. Dari sebuah Kampung tradisional yang hingga kini masih ada, Kebayakan ke wilayah Kabupaten Bener Meriah, di Kampung Bathin Kecamatan Bandar.
Mereka Munene dengan berjalan kaki. Melewati gunung pembatas dua kabupaten Aceh Tengah dan Redelong, Ujung Karang yang kemudian sewaktu masih ada HPH di Takengon disebut dengan Bur Oregon.
Berkebun kopi adalah pilihan hidup utama warga Gayo. Ilmu berkebun kopi  didapat warga Takengon karena sebelumnya Belanda sudah membuat perkebunan kopi modern. Di lokasi Burni Bius dan Bergendal.
Ilmu tersebut tersebar secara tradisional .Paska Belanda yang hengkang  karena masuknya Jepang di era pra kemerdekaan, perkebunan milik Belanda oleh penduduk setempat dibagi-bagikan. Perubahan kepemilikan lahan.  Perkebunan Belanda hilang digantikan kebun warga .
Tak ada kawasan Bukit, gunung, dan lembah yang tidak terisi batang kopi. Sepanjang mata memandang. Sepanjang hamparan. Meski semakin jauh kepedalaman sekalipun. Disana aka ada batang kopi dengan naungan batang petai.
Baris-baris kopi ini menjadi sumber utama  ekonomi warga. Seperti napas untuk hidup .Di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah serta sebagian Gayo Lues.
——-
Aceh Tengah terletak  pada koordinat: 4°10”-4°58” LU dan 96°18”–96°22” BT. Merupakan kawasan pegunungan . Belanda menjadikan kawasan Takengon sebagai kawasan peristirahatan dan perkebunan kopi mereka, seperti ditulis. John R Bowen , Di tahun 1924 Belanda dan investor Eropa telah memulai menjadikan lahan didominasi tanaman kopi, teh dan sayuran (John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, halaman76).
Kemudian, pada Tahun 1933, di Takengon, 13.000 hektar lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai komoditas “Product for future”. Masyarakat Gayo, tulis John R Bowen, sangat cepat menerima (mengadopsi) tanaman baru dan menanaminya di lahan-lahan terbatas warga. Perkampungan baru di era tersebut, terutama di sepanjang jalan dibersihkan untuk ditanami kopi kualitas ekspor. Tahun 1920 Belanda mulai membawa tenaga kerja kontrak dari Jawa ke Gayo, untuk menjadi pekerja di perusahaan dammar (pinus mercusi).
Beberapa tulisan saya bisa dilihat tulisan ini juga dimuat di (http://keniGayo.wordpress.com/tag/win-ruhdi-bathin/)dan. Kopi Gayo Made In Belanda, pernah saya tulis untuk Pantau Aceh (http://pantau.co.cc/berita-596-.html).
Meski sudah seratusan tahun lebih Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah bergelut dengan kopi, kemajuan dan perkembangan kopi terbilang lambat dan sangat lambat. Kelamnya nasib petani kopi tergambar dalam berbagai tulisan.
Salah bukti ketertinggalan sector kopi paska Belanda ditunjukkan dengan produksi kopi perhektar pertahun masih antara 600-700 Kg/ha/tahun. Semuanya dijual keluar (eksport) dalam bentuk bahan mentah kopi atau green bean.
Negara-negara yang mengimport kopi Gayo, menjadikan kopi biji hijau (KBH) atau green bean untuk berbagai kebutuhan komersial. Diantaranya untuk gerai-gerai kedai kopi terkemuka. Seperti Star Buck. Star Buck, selain menyediakan kopi arabika Gayo, juga mengambil kopi ternama dari antero dunia.
Pada tahun 2006/2007 eksport kopi arabika dari pelabuhan Belawan Medan, sebanyak  48.637 ton dengan nilai Rp.150,4 juta dolar Amerika.Dataran tinggi Gayo diperkirakan menyumbang sekitar 50 persen dari total eksport kopi arabika lewat Belawan dengan nilai sekitar 75,2 juta dolar Amerika atau sekitar Rp.690 milyar.
Kopi arabika Gayo dieksport dengan beberapa nama, seperti, Mendheling Coffee, Sumatra Mandheling, Retro Mandheling, Sumatra Gayo, Mandheling Gayo, Super Gayo dan Gayo Mountain Coffee.Segment kopi arabika Gayo sebagian besar dipasarkan sebagai kopi spesialti.
Beberapa sertifikat produk yang berprinsip pada pertanian berkelanjutan telah dimiliki seperti, Organik, Fairtrade dan Utz Kapeh.Beberapa eksportir sedang melakukan proses guna mendapatkan sertifikasi CAFE Practices untuk penjualan khusu ke Starbuck Coffee (Panduan Budidaya dan Pengelolaan Kopi Arabika, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, tahun 2008).
——–
Meski kopi arabika Gayo lebih popular di luar daerah dan bahkan diluar negeri. Di Takengon dan Bener Meriah sendiri, warga Gayo lebih menyukai kopi jenis robusta sebagi menu minuman kopi setiap harinya. Disetiap rumah tangga Gayo, kopi arabika berupa bubuk kopi menjadi hidangan utama bagi tamu dan keluarga. Meski luas lahan kopi arabika terus berkurang digantikan arabika yang lebih disukai pasar luar.
Normalnya, warga Gayo minum kopi dua kali sehari. Pagi dan petang. Tapi banyak juga yang meminum kopi tiga kali sehari, seperti minum obat bahkan lebih. Setiap kali istirahat bekerja di kebun dan sawah, kopi menjadi minuman saat istirahat. Bukan minum air putih.
Kopi tumbuh hampir disemua kawasan gunung dan lembah kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.Kecuali kawasan hutan lindung. Selebihnya, dijadikan areal perkebunan kopi yang hingga kini masih terus dibuka.(masukkan data ketinggian tempat)
Banyak cara membuka lahan hutan tropis di Takengon dan Bener Meriah untuk kebun kopi..Batang-batang kayu yang kaya varietas ini “mengerang” dibabat mesin chinsaw atau dipatuk-patuk  kapak-kapak petani. Rebah mencium bumi. Bersemayam menjadi “beje’ (pupuk) bumi.Muncullah batang kopi yang berasal dari biji yang disemai di tanah subur.
—–
Bermula dari kebun kopi, muncullah rumah-rumah sederhana. Rumah kebun. Semakin lama semakin berkembang. Biasanya, setiap kali membuka lahan baru, petani kopi Gayo selalu menyisakan bagian tanahnya untuk dijadikan jalan.
Waktu berubah, hutan menjadi kebun kopi. Rumah semakin banyak, biasanya ditengah kebun kopi atau didekat jalan. Jalan-jalan mulai dikeraskan mencapai areal perkebunan kopi sebagai penghubung dan memobilisasi hasil panen.
Jadilah arela perkebunan kopi menjadi Dusun, Kampung, Kumpulan Kampung-kampung ini menjadi satu Kemukiman  dan menginduk ke Kecamatan terdekat. Beginilah pola terciptanya kawasan Kecamatan hingga Kabupaten di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Tak heran jika keadaan ini membuat sebuah kota Kecamatan sekalipun berada ditengah jutaan hingga ratusan juta batang kopi. Yang menjadi pemisah antara rumah dan kebun biasanya hanyalah jalan. Selebihnya, setelah sedikit halaman, tumbuhan warga Gayo adalah kopi dan kopi.
Sama halnya dengan kebun teh jika di seputaran Jawa Barat .Hamparan kebun kopi dipisah oleh baris-baris kopi yang cenderung membentuk pola tersendiri. Jarak antara tanaman kopi dalam baris dan antar baris sangat variatif. Dahulu, jaran antara baris kopi adalah 3 meter. Sementara jarak dalam baris kopi sekitar dua meter.
Di era belakangan ini, jarak ini semakin sempit seiring ditemukannya varitas baru yang naungan kanopinya tidak lebar. Jarak antar baris tidak sampai lagi tiga meter. Demikian halnya jarak dalam baris kopi. Tergantung varietas kopi.
Menurut Uwein, dalam blognya . Awalnya ada beberapa varietas kopi di Dataran Tinggi Gayo, seperti,  Bergendal. Varietas Bergendal termasuk varietas atau kultivar kopi Arabika lokal. Dapat tumbuh di ketinggian 1.200 – 1.500 m dpl, sangat rentan terhadap penyakit Karat Daun (Hemileia vastarix, B. et, Br), namun mempunyai mutu yang sangat baik.
Varietas   Ramong . Kopi Ramong dicirikan oleh buahnya yang besar dan panjang, buah dan bijinya paling besar di antara kultivar kopi arabika yang ada di Dataran Tinggi Gayo, namun jenis ini sudah mulai jarang dijumpai, karena varietas ini memerlukan tempat yang lebih lebar karna pertumbuhannya yang begitu pesat.
Varietas Sidikalang .Varietas ini sangat rentan terhadap penyakit karat daun (Hemileia vastarix, B. et,Br), dapat tumbuh di ketinggian 1.200 – 1.500 m dpl. Varietas ini mempunyai mutu yang sangat baik sehingga sangat disukai oleh konsumen di luar negeri.
Kopi varietas  Jember (Lini. S) .Di Dataran Tinggi Gayo varietas ini banyak di tanam pada ketinggian sedang (800 – 1000 m dpl), tahan terhadap penyakit Karat Daun (Hemileia vastarix, B. et, Br), rentan terhadap serangan hama bubuk buah kopi (Stephanoderes hampei. Ferr) dan hama penggerek batang (Zeuzera Coffeae), selain itu varietas ini juga mempunyai mutu yang kurang baik sehingga sudah mulai ditinggalkan oleh petani
Kopi Varietas Tim Tim Arabusta .Varietas ini berasal dari Timor Timur yang merupakan hasil persilangan alami antara kopi arabika dengan kopi robusta, mempunyai mutu fisik biji yang sangat bagus namun tidak disukai oleh konsumen di luar negeri, karena citarasanya masih diturunkan oleh kopi robusta.
Kopi Varietas Ateng Jaluk ( Catimor Jaluk) .Varietas Catimor Jaluk oleh masyarakat tani lebih sering menyebut dengan nama kopi Ateng. (uwein/the project OSRO). Selain varietas ini masih banyak varietas lain yang muncul belakangan.
Varietas tersebut antara lain, Timortimur, Borbor (Bourbon), Ateng Super (Katimor), Ateng Ilang Pucuk (Katimor), Ateng Super (Katimor), P88 dan sejumlah varietas lainnya.
Dua varietas kopi di Gayo (Takengen dan Redelong) yang sudah dijadikan kopi unggul , dilepas secara resmi oleh pemerintah Indonesia dengan nama Gayo1 untuk Timortimur dan Gayo2 untuk Borbor. Kedua varietas ini sudah melewati serangkaian penelitian ilmiah di Bener Meriah (Redelong) dan memiliki rasa dan aroma yang disukai konsumen.
Jika anda ke Dataran Tinggi Gayo di Aceh, Sumatera, jangan heran jika memasuki wilayah Aceh Tengah dari Pesisir Utara Aceh, Kabupaten Bireuen, yang berjarak 102 kilometer menuju Ibu Kota Aceh Tengah, Takengon, jalan yang dilalui adalah kawasan perbukitan yang terjal dan curam.
Suhu udara akan terus semakin dingin seiring pertambahan ketinggian tempat Aceh Tengah  yang berada 1200 Diatas permukaan laut (Dpl). Melewati perbatasan Aceh Tengah dan Bireuen, suasana berubah drastic.
Pemandangan kebun karet, sawit, pinang, kelapa dan coklat, digantikan kebun-kebun kopi disepanjang jalan Negara ini. Petani kopi Gayo cenderung menanami kebun mereka dengan mono kultur. Hanya pohon-pohon kopi.
Beberapa tanaman lain yang sering dijadikan tanaman pelengkap selain varietas kopi berskala kecil adalah jeruk. Terutama jeruk Keprok Gayo yang pernah memenangkan buah unggul nasional beberapa tahun silam. Juga ditanami Alpukat. Naungan utama kebun kopi adalah pete dalam bahasa local Gayo yang berarti lamtoro.
Tak ada lahan yang kosong kecuali ditanami kopi. Kopi yang merupakan “napas ekonomi” sebagian besar rakyat Gayo ditanam karena kemudahan penjualannya. Jika panen tiba, biasanya setahun dua kali Selepas panen  petani langsung menjual buah kopinya.
Kopi jenis ini disebut kopi gelondong segar.Biasanya dijual dalam takaran kaleng. Jika dikilogramkan, satu kaleng sekitar 12.1 kg. Satu kaleng sama dengan sepuluh bambo. Satu bambo setara dengan dua liter. Kopi petani langsung dibeli agen kopi di tingkat Kampung langsung dari kebun menggunakan kenderaan roda dua.
Uang “cash” ini langsung dipakai untuk kebutuhan sehari-hari bagi keluarga petani. Begitu seterusnya. Di tingkat agen, pembelian dari kopi-kopi petani setempat diolah. Kopi gelondong merah dipisahkan dari kulit buahnya. Menggunakan sebuah alat giling (pulping)
Kemudian difermentasi selama lebih kurang 12 jam lalu dibersihkan dan dijemur untuk dijadikan kopi labu. Kopi labu adalah kopi tanpa kulit tanduk hasil penggilingan (huller) dengan kadar air sekitar 35-40 persen.
Agen, terkadang biasanya langsung menjual kopi labu ini sesaat setelah penggilingan. Transaksi terjadi di lokasi-lokasi penggilingan kopi. Oleh agen kopi yang lebih besar, biasanya mangkal di mesin kopi , kopi labu dijadikan KBH (Kopi Biji Hijau ) atau kopi beras (green). Kadar airnya sekitar 20 persen keatas. Kopi ini disebut kopi asalan.
Kopi asalan dijual lagi ke pedagang yang akan menjadikannya kopi yang siap diperdagangkan  dengan kadar air 14-18 persen. Biasanya kopi ini dijual ke eksportir di Medan Sumatera Utara.
Sangat sedikit persentase petani yang menjadi pedagang kopi dengan cara mengolah kopi gelondong  menjadi kopi setengah jadi atau green bean. Konon lagi yang bergerak dibidang pengolahan kopi roasting dan café modern dengan mesin espresso.
Namun di akhir-akhir ini, sekitar tiga tahun belakangan, di Bener Meriah sudah ada warga setempat yang mengolah kopi menjadi kopi roasting dan dijadikan bubuk kopi serta membuat café. Namanya H Yusrin dengan merek Bergendal  Kopi.
Selain Haji Yusrin, juga ada Wawan, yang memakai produk Taiwan untuk mesin roastingnya dengan merek Premium Coffee. Segelintir warga lainnya mengolah kopi dijadikan bubuk dengan kemampuan dan pengetahun sendiri.
Sementara di Takengon, saya coba membuat kopi olahan berupa café  dengan mesin kopi espresso. Sangat prospek. Hanya saja mimpi saya memiliki mesin roast masih sangat sulit terwujud karena sangat mahal.
Padahal idealnya, selain menyediakan kopi , sangat ideal memiliki mesin roast sehingga bisa memasuki segmen kopi lainnya, yakni kopi bubuk. Karena segmen kopi bubuk dengan bahan baku yang melimpah masih sangat terbuka lebar mengingat kopi Gayo sudah mendunia.
Takengon dan Redelong , dua kabupaten di tengah Aceh, NAD, merupakan kawasan yang semua wilayahnya dipagari kopi. Jadi sangat layak jika Pemda kedua Kabupaten ini mulai memproklamirkan diri sebagai kabupaten kopi di Indonesia.
Selain itu, dengan luasnya kopi sepanjang kawasan dan mata memandang bak hamparan permadani hijau, sangatlah layak kalau kawasan ini dijadikan agro wisata kopi. Sayang, Pemda belum bisa membaca dan tertarik melihat potensi ini. Meski Belanda saat menjajah dulu sejak seratusan tahun silam telah menjadikan kopi salah satu komoditi eksport. Sayang sekali, visi dan misi dua kabupaten terbesar penghasil kopi arabika di Asia, tidak jelas dibidang kopi. Sayang seribu sayang . Padahal kedua bupati di kawasan pedalaman Aceh itu adalah sarjana pertanian.
Belum lagi jika bertani tradisional Gayo, yakni membajak sawah menggunakan hewan untuk mengolah sawah hingga panen memakai cara tradisional , sangat layak dijadikan obyek wisata bagi turis asing yang menyukai kearifan local yang tidak mereka dapat di negara maju.
Semua Potensi ini belum dijadikan “Modal” untuk dijadikan  sumber lain bagi penduduk local dan PAD bagi Pemda. Semuanya memerlukan sentuhan dan kebijakan pro rakyat , bukan pro proyek yang bernilai fee bagi pemangku kepentingan serta alat politik penguasa untuk tebar pesona. Tinggal nawaitu dan aksi.

sejarah kopi indonesia

berontoseno on July 28th, 2009 No Comments
Sejarah perkembangan kopi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda pada awalnya menanam kopi di daerah sekitar Batavia(Jakarta), Sukabumi, Bogor, dan akhirnya menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi. Sekitar abad ke-20, semua perkebunan kopi di Indonesia terserang hama yang mengakibatkan musnahnya hampir semua tanaman kopi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, akhirnya pemerintah Belanda mencoba menanam kopi Liberika. Akan tetapi, varietas ini ternyata tidak begitu populer dan pada akhirnya juga terserang hama. Saat ini, kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, meskipun jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial.
Bencana alam, perang Dunia II ,dan perjuangan kemerdekaan, semuanya mempunyai peranan penting bagi perkembangan kopi di Indonesia. Awal abad ke-20 perkebunan kopi berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda. Di bawah pemerintahan Belanda ini Infrastruktur dikembangkan untuk mempermudah perdagangan kopi. Sebelum Perang Dunia II, di Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi, gula, merica, teh dan tembakau menuju Semarang untuk kemudian diangkut dengan kapal laut. Kopi yang ditanam di Jawa Tengah umumnya adalah kopi Arabika. Kopi Arabika juga banyak diproduksi di kebun – kebun seperti (Kayumas, Blawan, Kalisat/Jampit) di Bondowoso, Jawa Timur. Sedangkan kopi robusta banyak diproduksi di Jawa Timur seperti Ngrangkah Pawon (Kediri), Bangelan (Malang), Malangsari, Kaliselogiri (Banyuwangi). Sedangkan di daerah pegunungan dari Jember hingga
Perkebunan,  kebun kopi di desa Kepuharjo sangat cocok dan merupakan sektor unggulan dalam bidang perkebunan, selain memasrkan hasil kopi secara langsung sebagian warga terutama di dusun Petung dan Jambu memasrakan hasil produksi kopi berupa kopi olahan dengan merk Kopi Turgo yang di produksi oleh kelompok usaha bersama, dan merupakan andalan untuk tujuan desa Wisata di Dusun Petung.

Perkebunan Kopi Terancam Alih Fungsi Menjadi Perkebunan Karet

  • PDF

-Lebih menjanjikan-
MUARAENIM, BeritAnda - Keberadaan areal perkebunan kopi di Kabupaten Muaraenim perlahan-lahan mulai terancam. Pasalnya, saat ini banyak petani yang lebih memilih tanaman karet karena di nilai lebih menjanjikan.

Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Muaraenim Ir. Maryana melalui staf Pengelolaan Data Statistik Perkebunan, Rizal Arika Jakfar mengatakan, untuk Kabupaten Muaraenim kawasan utama peruntukan kebun kopi berada di tiga kecamatan. Masing-masing, Semende Darat Laut (SDL), Semende Darat Tengah (SDT) dan Semende Darat Ulu (SDU).
“Namun demikian, daerah lain seperti Kecamatan Tanjung Agung juga banyak menghasilkan produksinya untuk komoditas ini,” ujar Rizal di ruang kerjanya, Senin (24/10/2011).
Rizal mengungkapkan, hingga semester II tahun 2010 tercatat luas areal kebun kopi di kecamatan SDL mencapai 10.359 hektar. Terdiri dari 1.347 tanaman belum menghasilkan (TBM), 8.541 tanaman menghasilkan TM dan 498 tanaman rusak (TR)/tanaman tidak menghasilkan (TTM).
Dimana dari jumlah ini total produktivitas sebanyak 11.068 ton dan jumlah petani 5327 orang. Untuk Kecamatan SDT luas areal 2.543 hektar. Terdiri dari 331 TBM, 2090 TM dan 122 TR/TTM. Dalam hal ini jumlah produksi sebanyak 2.717 dari 1932 petani.
Dan, untuk SDU luas kebun sekitar 2.589 hektar dengan 337 TBM, 2.140 TM dan 112 TR/TTM. Untuk tingkat produktivitas sebanyak 2.780 dengan 1436 petani. Sedangkan untuk total produksi kopi di Kabupaten Muaraenim secara keseluruhan mencapai 25.125 dengan jumlah petani sebanyak 15.229 orang.
“Secara estiminasi setiap 1 hektar kebun kopi ini, mampu menghasilkan sekitar 1.3 ton beras kopi (biji kopi),” terang Rizal.
Namun, kata Rizal, keberadaan kebun kopi, khususnya di wilayah peruntukan ini secara perlahan mulai terancam. Sebab, setiap tahun areal perkebunan karet milik rakyat terus bertambah.
Terlihat, pada 2009 luas kebun karet di wilayah SDL 469 hektar meningkat signifikan menjadi 864 hektar. Dimana jumlah produksi naik menjadi 1.581 ton dari sebelumnya yang hanya 864 ton. Begitupula di wilayah lain seperti Tanjung Agung luas kebun karet meningkat dari 10.475 hektar menjadi 10.675 hektar. “Selain itu, para petani juga melakukan diversifikasi (penganekaragaaman) kebun kopi dengan tanaman kakau (coklat),” papar Rizal
Rizal mengungkapkan, berkurangnya jumlah perkebunan kopi secara praktis turut membuat produktivitas berkurang. Padahal, kopi merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Muaraenim. Namun demikian, pemerintah daerah tidak bisa menghalangi pilihan petani terhadap komoditas yang akan di kembangkannya.
“Saat ini, animo masyarakat terhadap tanaman karet memang cukup tinggi. Kemudahan dalam menjual dan harga yang cukup stabil disinyalir menjadi alasan utama dalam mempengaruhi minat petani terhadap tanaman karet,” ucap dia.
Kepala Sub Bagian (Kasubag) Perencanaan Perkebunan, Herman menambahkan untuk meningkatkan minat petani terhadap kopi, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Misalnya dengan memberikan bantuan sarana seperti mesin giling kopi, gudang penyimpanan ataupun bibit.
“Pada tahun ini, kita telah memberikan bantuan satu unit mesin giling kopi dan gudang bagi petani kopi di SDL. Direncanakan pada tahun depan kita akan memberikan bantuan bibit,” ungkap Herman.
Terpisah salah satu petani karet di Muaraenim Andi (37), menuturkan bahwa dirinya lebih memilih tanaman karet karena harga jualnya yang lebih tinggi.  Tak hanya itu, dari segi produktivitas, tanaman karet juga di nilai lebih unggul karena dapat di sadap setiap hari.
“Saya menyadap karet setiap hari. Hasil getahnya saya kumpulkan di pinggir jalan.  Biasanya, pembeli yang akan datang langsung ke tempat saya pakai truk,” ucap dia. (Mesak)

Perkebunan Kopi Arabika Kalisat Jampit

bondowoso Perkebunan kopi Jampit, merupakan agro wisata di Bondowoso yang dikelolah oleh PTP Nusantara VII Kalista Jampit. Perkebunan ini terletak 74 Km kearah timur kabupaten Bondowoso.
Perkebunan ini memiliki luas 4000 hektar dan terletak pada ketinggian 900 M dari permukaan laut. Selain menawarkan suasana hijau dan sejuk, setiap pengunjung yang datang juga bisa menyaksikan secara langsung proses penggilingan hingga pengemasan kopi arabika sampai akan dipasarkannya.
Selain menikmati hal-hal berbau kopi, terdapat fasilitas lain yang ditawarkan seperti, menikmati taman bunga, memancing, renang, tenis atau hanya bersantai dan menikmati sejuknya suasana.
erkebunan Kopi Bali Dengan Pengolahan Secara Tradisional Terbaik
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Info Produk - Dibaca: 241 kali


Perkebunan Kopi Bali dengan pengolahan secara tradisional terbaik di pabrik kami, yang terletak di hawa yang cukup dingin, di ketinggian kurang lebih 900-1200 meter dari permukaan laut, di Jalan Raya Tampaksiring - Kintamani.
Pabrik
Kopi Bali ini didirikan pada tahun 2000 yang mana ini berawal dari banyaknya permintaan akan Kopi Bali kualitas No. 1 dari para wisatawan manca negara dan domestik, di sebagian besar Hotel dan Restaurant di seluruh Indonesia. Sehingga dengan bermodalkan ketekunan dan kepercayaan dari konsumen akan cita rasa kopi yang berkualitas No.1, dan juga kami dapat mengangkat perekonomian masyarakat sekitarnya.
Semua proses pengolahan kami lakukan di pabrik kami yang asri dan sejuk, dari Cherry kopi merah sampai dengan biji kopi panggang dan menjadi bubuk yang siap dihidangkan.
N
ikmati pemandangan yang indah dan kesejukan kawasan pabrik kami bersama keluarga, sambil dihidangkan kopi bali hangat yang kami suguhkan.
erkebunan Kopi Bali Dengan Pengolahan Secara Tradisional Terbaik
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Info Produk - Dibaca: 241 kali


Perkebunan Kopi Bali dengan pengolahan secara tradisional terbaik di pabrik kami, yang terletak di hawa yang cukup dingin, di ketinggian kurang lebih 900-1200 meter dari permukaan laut, di Jalan Raya Tampaksiring - Kintamani.
Pabrik
Kopi Bali ini didirikan pada tahun 2000 yang mana ini berawal dari banyaknya permintaan akan Kopi Bali kualitas No. 1 dari para wisatawan manca negara dan domestik, di sebagian besar Hotel dan Restaurant di seluruh Indonesia. Sehingga dengan bermodalkan ketekunan dan kepercayaan dari konsumen akan cita rasa kopi yang berkualitas No.1, dan juga kami dapat mengangkat perekonomian masyarakat sekitarnya.
Semua proses pengolahan kami lakukan di pabrik kami yang asri dan sejuk, dari Cherry kopi merah sampai dengan biji kopi panggang dan menjadi bubuk yang siap dihidangkan.
N
ikmati pemandangan yang indah dan kesejukan kawasan pabrik kami bersama keluarga, sambil dihidangkan kopi bali hangat yang kami suguhkan.

sejarah kopi indonesia

berontoseno on July 28th, 2009 No Comments
Sejarah perkembangan kopi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda pada awalnya menanam kopi di daerah sekitar Batavia(Jakarta), Sukabumi, Bogor, dan akhirnya menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi. Sekitar abad ke-20, semua perkebunan kopi di Indonesia terserang hama yang mengakibatkan musnahnya hampir semua tanaman kopi. Untuk menanggulangi masalah tersebut, akhirnya pemerintah Belanda mencoba menanam kopi Liberika. Akan tetapi, varietas ini ternyata tidak begitu populer dan pada akhirnya juga terserang hama. Saat ini, kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, meskipun jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial.
Bencana alam, perang Dunia II ,dan perjuangan kemerdekaan, semuanya mempunyai peranan penting bagi perkembangan kopi di Indonesia. Awal abad ke-20 perkebunan kopi berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda. Di bawah pemerintahan Belanda ini Infrastruktur dikembangkan untuk mempermudah perdagangan kopi. Sebelum Perang Dunia II, di Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi, gula, merica, teh dan tembakau menuju Semarang untuk kemudian diangkut dengan kapal laut. Kopi yang ditanam di Jawa Tengah umumnya adalah kopi Arabika. Kopi Arabika juga banyak diproduksi di kebun – kebun seperti (Kayumas, Blawan, Kalisat/Jampit) di Bondowoso, Jawa Timur. Sedangkan kopi robusta banyak diproduksi di Jawa Timur seperti Ngrangkah Pawon (Kediri), Bangelan (Malang), Malangsari, Kaliselogiri (Banyuwangi). Sedangkan di daerah pegunungan dari Jember hingga Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi Arabika dan Robusta.
Setelah kemerdekaan banyak perkebunan kopi yang diambil alih oleh pemerintah yang baru atau ditinggalkan. Saat ini sekitar 92% produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.
No Responses to “sejarah kopi indonesia”

Leave a Reply






supported by:

http://telkomspeedy.com

bunan Kopi Tlogo

Agrowisata perkebunan Tlogo terletak di desa Delik, kabupaten Semarang, Jawa Tengah seluas 415 hektar dengan ketinggian 400 s.d. 675 meter di atas permukaan laut. Cuaca yang sejuk dan udara bersih nan bebas polusi akan menemani saat-saat Anda menikmati panorama indah serta pemandangan beraneka tanaman perkebunan seperti kopi, karet, cengkeh, pala dan juga berbagai buah tropis semisal durian, mangga, pisang, alpukat, rambutan, jambu biji dan lain sebagainya. Selain itu, di sini, dari kejauhan dapat juga disaksikan pemandangan Rawapening yang menawan.

Dataran Tinggi Gayo Merupakan Perkebunan Kopi Terluas di Indonesia

Takengon – Pakar Ekonomi yang juga mantan Gubernur Aceh, Prof. DR. H. Syamsudin Mahmud menyatakan kualitas kopi Gayo yang telah dikenal di manca negera itu harus dapat terus dipertahankan. Karena dari segi cita rasanya, kopi Gayo memiliki prospek pasar yang cukup cerah.

Syamsuddin Mahmud yang mengadakan pertemuan silaturahmi dengan Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM Kamis (25/10) malam di Pendopo Takengon menyebutkan, areal perkebunan kopi di daerah dataran tinggi Gayo, kata mantan Gubernur Aceh priode 1993 - 2000 merupakan perkebunan kopi terluas di Indonesia, setelah Timor –Timor. Namun kini perkebunan kopi di Timor-Timor yang hanya 7000 herktar itu sudah tidak ada lagi.

Menurut Syamsuddin mahmud yang dalam usianya 73 tahun itu, namun masih tetap energik, tanaman kopi jenis arabica telah mulai dikembangkan oleh Belanda di Aceh Tengah pada tahun 1926. Malah, sekitar tahun 1976 Belanda mengirim dua orang guru besar yang merupakan pakar tanaman kopi yakni, Prof. Menez dan Prof. Boss, dari Rotterdam, untuk meneliti lebih jauh tanaman kopi yang ada di daerah seribu gunung ini.

Waktu itu kata Syamsuddin, ia baru kembali dari Belgia untuk mendampingi kedua ahli kopi untuk melakukan penelitian di Aceh Tengah. Dari hasil penelitian tersebut, tambah Syamsuddin, sekitar tahun 1983 hasil kerja sama Pemerintah Belanda dengan Aceh membangun pabrik processing kopi dengan nama LTA 77 yang berlokasi di Kampung Pondok Gajah, Kecamatan Bandar.

Program Belanda sendiri waktu itu adalah melakukan pembangunan jalan-jalan desa yang diidentifikasi sebagai sentral kopi, membangun pabrik pengolahan kopi basah, serta pembinaan petani kopi. Produksi kopi milik petani yang ditampung oleh LTA 77 yang selanjutnya diproses menjadi kopi biji kering dengan label Gayo Mountain Coffee. Selain biji kopi kering, perusahaan itu juga memproduksi bubuk kopi dengan label yang sama. “Nah label inilah yang harus kita pertahankan”, pinta Syamsuddin Mahmud.

Karena sejak hadirnya pabrik pengolahan kopi basah, nama kopi Gayo dikenal oleh negara-negara konsumen kopi dunia. Salah satu negara pertama sasaran eksport kopi Gayo adalah Jepang. Pihak perusahaan melalui Mitsui Company mengeksport kopi ke negara Sakura tersebut. Di pasaran di negara itu masih kata Syamsuddin, produk Gayo Mountain Coffee menduduki urutan kedua setelah Blue Mountain Coffee dari Jamaika. “Sebenarnya dari segi cita rasa dan aroma, Gayo Mountain Coffee lah yang paling enak”, sebut Syamsuddin.

Syamsuddin mengakui, dia sudah hampir tujuh tahun tidak mengunjungi kota dataran tinggi Gayo itu. Makanya, bila ia merasa rindu dengan Aceh Tengah, ia akan tetap teringat dengan kopi Gayo. Untuk Syamsudin Mahmud yang kini menetap di Jakarta, sealalu memesan kopi Gayo. Karena jasa-jasanya dalam merintis berdirinya Perusahaan Daerah Gernap Mupakat (PDGM), pihak perusahaan tersebut mengirimkan bubuk kopi untuk Pak Syam panggilan akrab Syamsuddin Mahmud dengan jenis bubuk kopi jenis Moca. “Sampai sekarang kan masih ada kopi jenis moca itu dikembangkan di perkebunan milik perusahaan itu”, tanya Syamsuddin.

Untuk itu Syamsuddin berkali-kali berharap agar label Gayo Mountain Coffee yang telah berhasil merebut pasaran tersebut dapat terus dipertahankan. Pak Syam kembali menceritakan pengalamannya dalam lawatan ke negara Swiss. Di negara tersebut para ahli kopi melakukan penelitian terhadap kopi organik setiap tahunnya.

Sisi lain Syamsudin menyatakan kekaguman terhadap potensi besar yang dimiliki oleh Aceh Tengah. Daerah negeri Peteri Bensu itu, tidak hanya dikenal sebagai kawasan lumbung kopi terbesar di Indonesia. Lebih dari itu, Syamsudin menggambarkan, alam Aceh Tengah seperti alamnya Swiss. Lahan yang subur dan potensi yang cukup besar itu sangat menjanjikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat.

Menjawab harapan Syamsuddin Mahmud terhadap label Gayo Mountain Coffee, Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM yang ditanyai terpisah menyatakan, Pemda terus melakukan berbagai upaya untuk tetap mempertahankan nama sekaligus kualitas kopi Gayo. Menurut Nasaruddin, masukan-masukan yang disampaikan Syamsudin Mahmud yang memiliki banyak pengalaman baik dalam bidang pemerintahan maupun berbagai bidang lainnya, merupakan masukan berharga untuk kemajuan daerah itu.

Karena kata Nasaruddin, sumbangsih mantan Gubernur Aceh terhadap Aceh Tengah, khususnya dengan berdirinya PDGM sangat besar. Untuk itu meski apapun hambatan yang ada di PDGM, Pemda akan terus berupaya mencari jalan keluarnya. “Apa yang telah dirintis oleh Pak Syam harus terus kita pertahankan”, ujar Nasaruddin.
PROFIL KAMPOENG KOPI BANARAN
Merupakan salah satu Wisata Agro yang dimiliki oleh PT. Perkebunan Nusantara IX (Persero), Terletak di Areal Perkebunan Kopi Kebun Getas Afdeling Assinan tepatnya Jl. Raya Semarang – Solo Km. 35 dengan ketinggian 480 – 600m dpl dengan suhu udara cukup sejuk antara 23ºC - 27º C.
Fasilitas utama berupa bangunan untuk menikmati sedapnya kopi “Banaran Coffee” juga dibangun arena bermain anak – anak, lapangan tenis, Mushola, Meeting Room, Griya Robusta,  Family Gathering, Corporate Gathering, Coffee Walk, Out Bound Games, Kolam Renang, Gasebo, Taman Buah, Gedung Pertemuan, Flying Fox, Jelajah Kebun dengan ATV.
Lokasi wisata agro ini di tengah areal perkebunan kopi robusta, persis di tepi jalan Semarang-Salatiga atau satu kilometer dari Terminal Bawen. Kopi robusta olahan Banaran sudah memasuki pasar ekspor sejak dulu, tidak hanya disukai di kawasan Asia, tetapi juga di Eropa.
Wisata unggulan di Kampoeng Kopi Banaran adalah
Kereta Wisata
Mengelilingi hamparan kebun kopi diselingi pemandangan Rawa Pening yang dilatarbelakangi gugusan Gunung.
KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT
Warga menjemur biji kopi di permukiman kawasan kaki Gunung Tambora, Desa Pancasila, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Jumat (24/6/2011). Sebagian besar warga desa bertama pencaharian sebagai petani kopi.
Oleh Amir Sodikin dan Khaerul Anwar
KOMPAS - Hari itu mestinya menjadi hari istimewa dan dinanti-nantikan para pekerja kebun kopi Pemerintah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, di lereng Tambora karena musim panen perdana atau petik pilihan telah tiba. Namun, suasana terasa muram. Tak ada semangat yang terlihat dari pekerja untuk memetik kopi di perkebunan yang dirintis sejak 1930-an itu.
”Kita patut prihatin, panen kopi kali ini turun drastis,” kata Suparno, kepala perkebunan, di depan para pekerja. Tahun 2010, produksi kopi dari lahan sekitar 146 hektar masih mencapai 30 ton. ”Tahun ini diperkirakan hanya 15 ton,” ujarnya. Kendalanya, selain hujan terus, juga karena kurang perawatan.
Tak hanya hasil yang buruk, pencurian kopi juga merajalela. Lahan perkebunan seluas itu hanya ditangani oleh 47 pekerja yang kehilangan semangat. ”Kami hanya bekerja sesuai dengan gaji yang kami terima. Gaji tak menutupi kebutuhan sehari-hari. Jadi, buat apa bekerja total jika tak bisa makan juga?” keluh seorang pekerja.
Gaji karyawan yang hanya Rp 250.000 per bulan menjadi alasan utama kebun kopi milik negara yang dikelola pemerintah daerah tersebut dibiarkan tak terawat. Selain itu, para pekerja perkebunan ini lebih memprioritaskan kebun mereka dibandingkan dengan lahan milik perkebunan.
Kontras dengan perkebunan kopi milik negara yang tak terawat baik, kebun pribadi warga terlihat lebih subur. Rendahnya produksi kopi di perkebunan negara memang bukan karena kurang suburnya lahan, melainkan karena buruknya pengelolaan.
Sebelum letusan
Jejak kopi di kawasan ini sangat tua dan telah dibudidayakan sebelum letusan pada tahun 1815. Pada periode itu, Belanda telah menjalin perdagangan dengan tiga kerajaan di sana, yaitu Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar. Kopi menjadi komoditas penting.
Dokumen yang menyebutkan perdagangan kopi tersebut adalah catatan Kerajaan Bima atau Bo’ Sangaji Kai, yang dikompilasi Siti Maryam R Salahuddin bersama Henri Chambert-Loir. Disebutkan, telah ada perjanjian damai dan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di lereng Gunung Tambora dan Belanda, yang dilakukan di Makassar, 18 April 1701.
Temuan biji kopi, yang terarangkan karena terkubur awan panas, di kawasan yang diperkirakan pernah menjadi lokasi Kerajaan Tambora semakin menguatkan catatan sejarah itu.
”Di lokasi penggalian ditemukan cukup banyak biji kopi. Berarti tak terlalu jauh dengan kondisi sekarang, mata pencarian mereka juga dengan bertani kopi,” kata I Made Geria yang memimpin tim arkeolog dari Balai Arkeologi Bali.
Tanah dan ketinggian lahan di Tambora sangat cocok untuk tanaman kopi. Itu pula yang membuat seorang pengusaha Swedia, G Bjorklund, membuka perkebunan kopi seluas 80.000 hektar di lereng barat Tambora pada 1930. Pada masa Bjorklund inilah kopi Tambora dikenal hingga mancanegara.
Sejak 1943, perkebunan kopi ini kemudian dikelola oleh NV Pasuma dan pada 1977 dikelola oleh PT Bayu Aji Bima Sena selaku pemegang hak guna usaha dari Menteri Dalam Negeri. Namun, menjelang tahun 2001, perkebunan kopi itu kembali ditelantarkan tanpa perawatan dan gaji pegawai tak dibayarkan.
Penyerobotan lahan pun sempat merajalela. Pada periode itu, luas lahan produktif yang ditanami kopi hanya 80 hektar dari total area konsesi 254 hektar. Produktivitasnya juga rendah, hanya 150 kilogram per hektar.
Dengan alasan penyelamatan aset dan ancaman penyerobotan lahan dari mantan pegawai, Dinas Perkebunan Kabupaten Bima akhirnya mengambil alih kebun tersebut sejak 2002. Luas lahan ditingkatkan menjadi 146 hektar dan produktivitas kebun membaik menjadi 450 kilogram per hektar.
Pada awal transisi, setiap tahun, perkebunan ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah sebesar Rp 200 juta-Rp 300 juta. Sejak di tangan pemerintah daerah ini, penyerobotan lahan juga bisa ditekan. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, produktivitasnya kembali turun.
Menyimpan sejarah
Lahan perkebunan kopi di lereng Gunung Tambora tersebut diduga menyimpan sejarah yang berharga. Bekas Kerajaan Tambora yang terkubur letusan gunung pada 1815 diduga berada di sana.
Dugaan adanya artefak yang terkubur di perkebunan kopi itu disampaikan I Made Geria. ”Saya mencurigai pusat Kerajaan Tambora kemungkinan ada di lokasi bangunan untuk pekerja perkebunan kopi w
Dompu (ANTARA News) - Perkebunan kopi seluar 1.500 hektare di Desa Pancasila, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, diserang hama kera.

Ratusan kera yang diduga dari hutan di pegunungan Tambora turun menyerang kebun kopi petani, kata Hamzah, petani kopi asal desa Pancasila yang dihubungi dari Dompu, Kamis.

"Kera-kera itu memakan biji kopi yang masih muda sehingga kami tidak bisa memetik hasilnya. Tidak hanya itu, untuk meraih biji kopi itu, kera-kera itu juga mematahkan batang pohon kopi," katanya.

Ia menambahkan kera itu menyerang lahan kebun kopi petani pada malam hari sehingga sulit diberantas. Petani hanya bisa melakukan pamantauan pada siang hari.

Petani meminta pemerintah Kabupaten Dompu untuk segera mengatasi serangan kera tersebut. Apalagi, desa ini merupakan penghasil kopi andalam Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan kopi tambora.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Dompu Saldin Yusuf dikonfirmasi mengatakan belum menerima laporan terkait hama kera yang menyerang kebun kopi petani.

Ia mengatakan, terbatasnya anggaran menyebabkan fungsi pengawasan terhadap hama penyakit tidak bisa dilaksanakan secara optimal.

"Apalagi jaraknya yang lumayan jauh dari pusat Kota Dompu sehingga tugas pengawasan memerlukan biaya yang tidak sedikit," katanya.

Ia menyarankan petani untuk melepas anjing di areal perkebunan peninggalan Belanda tersebut karena kera apalagi yang masih liar takut dengan suara gonggongan anjing. "Atau pasang bunyi-bunyian biar mereka pergi," katanya.

Perkebunan Kopi Arabika di Dataran Ijen…

Di dataran tinggi Ijen terdapat dua perkebunan yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XII (Persero).  Perkebunan tersebut adalah kebun Kalisat Jampit dan kebun Blawan.  Kedua kebun tersebut merupakan kebun dengan budidaya kopi arabika.  Kopi arabika dataran tinggi Ijen dikenal di manca negara dengan Java Coffee.  Kopi ini sangat mantap dengan rasa pahit dan masam, berbeda dengan kopi robusta yang hanya terasa pahit saja.
Di kedua kebun tersebut  ada wisata agro dengan sarana yang baik untuk kenyamanan wisatawan.  Homestay yang ada menyediakan kamar dengan air panas untuk melawan hawa dingin pada saat wisatawan mandi.

Kebun Kalisat Jampit terdapat homestay Arabika dengan kapasitas  kamar 19 standar dan 4 kamar superior.  Ada juga guest house Jampit dengan arsitektur rumah kuno jaman Belanda berkapasitas 4 kamar.  Selain wisata agro kebun dan pengolahan kopi arabika, pengunjung dapat menikmati stoberi langsung dari kebun seluas 6 hektar.
Di kebun Blawan juga terdapat homestay Catimor dengan kapasitas 24 kamar standar dan 6 kamar superior.  Bangunan homestay  beraksitektur rumah kuno buatan Anno 1894.  Wisata agro yang ditawarkan adalah wisata kebun, pengolahan kopi, kebun stroberi, kolam pemandian air panas dan air terjun Blawan.
GH Jampit dan Catimor
Musim panen kopi pada bulan Mei sampai September.  Pada saat musim panen kopi wisatawan bisa  memetik kopi dan menyaksikan proses pengolahannya.  Pada bulan Nopember sampai Desember  terjadi musim bunga kopi yang baunya sangat harum.
Wisatawan yang akan naik ke kawah Ijen banyak  menginap di kedua homestay tersebut.  Kunjungan wisatawan mancanegara lebih banyak dibandingkan dengan wisatawan lokal.  Wisman yang menginap di kedua homestay tersebut dalam satu tahun mencapai ±15.000 orang. Mayoritas wisman yang berkunjung berasal dari Perancis.  Puncak kunjungan wisman pada bulan Juli sampai September.

Perkebunan Kopi Arabika di Dataran Ijen…

Di dataran tinggi Ijen terdapat dua perkebunan yang dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XII (Persero).  Perkebunan tersebut adalah kebun Kalisat Jampit dan kebun Blawan.  Kedua kebun tersebut merupakan kebun dengan budidaya kopi arabika.  Kopi arabika dataran tinggi Ijen dikenal di manca negara dengan Java Coffee.  Kopi ini sangat mantap dengan rasa pahit dan masam, berbeda dengan kopi robusta yang hanya terasa pahit saja.
Di kedua kebun tersebut  ada wisata agro dengan sarana yang baik untuk kenyamanan wisatawan.  Homestay yang ada menyediakan kamar dengan air panas untuk melawan hawa dingin pada saat wisatawan mandi.

Kebun Kalisat Jampit terdapat homestay Arabika dengan kapasitas  kamar 19 standar dan 4 kamar superior.  Ada juga guest house Jampit dengan arsitektur rumah kuno jaman Belanda berkapasitas 4 kamar.  Selain wisata agro kebun dan pengolahan kopi arabika, pengunjung dapat menikmati stoberi langsung dari kebun seluas 6 hektar.
Di kebun Blawan juga terdapat homestay Catimor dengan kapasitas 24 kamar standar dan 6 kamar superior.  Bangunan homestay  beraksitektur rumah kuno buatan Anno 1894.  Wisata agro yang ditawarkan adalah wisata kebun, pengolahan kopi, kebun stroberi, kolam pemandian air panas dan air terjun Blawan.
GH Jampit dan Catimor
Musim panen kopi pada bulan Mei sampai September.  Pada saat musim panen kopi wisatawan bisa  memetik kopi dan menyaksikan proses pengolahannya.  Pada bulan Nopember sampai Desember  terjadi musim bunga kopi yang baunya sangat harum.
Wisatawan yang akan naik ke kawah Ijen banyak  menginap di kedua homestay tersebut.  Kunjungan wisatawan mancanegara lebih banyak dibandingkan dengan wisatawan lokal.  Wisman yang menginap di kedua homestay tersebut dalam satu tahun mencapai ±15.000 orang. Mayoritas wisman yang berkunjung berasal dari Perancis.  Puncak kunjungan wisman pada bulan Juli sampai September.
 
Muhamad Nurung

 Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu


ABSTRACT


The objective of the research was to analyze several factors influencing coffee area response, yield response, and elasticity of production (supply response).  The research was conducted with Partial Adjustment Model. Panted area response and yield response used as a proxy for coffee supply response. Elasticity of production (supply elasticity) could be obtained from mathematically area times yield will give production of a commodity. The research finding show that yields has been experiencing to decrease. Several factors have been attributed to that decreasing yield such as expensive production factors, the old trees, and bad maintenance of the farm. Labor wage was the most responsive factor to coffee area. Coffee and rubber prices are not responsive. Yield response was influenced by labor wage and technology. At the same time, yield was not responsive to coffee price and area. Then, comparing to increase in yield, the development of planted area, both for short run and long run, was more responsive to price change and labor wage. The policy implication is that enlargement of planted area should be given more attention, compared to increase in yield, in respond to change in coffee price or labor.

ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi respon luas areal tanam kopi, respon produktivitas dan elastisitas luas areal tanam, elastisitas produktivitas dan elastisitas produksi terhadap harga kopi dan upah pekerja perkebunan. Metode yang digunakan adalah Partial Adjusment Model.  Respon penawaran kopi dapat didekati melalui respon luas areal tanam dan respon produktivitas Untuk mendapatkan elastisitas produksi (elastisitas penawaran) dihitung dari luas areal tanam dikalikan dengan produktivitas.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas lahan kopi menurun. Penyebabnya adalah faktor-faktor produksi kopi, banyak pohon kopi yang sudah tua dan rendahnya perawatan kebun.  Upah tenaga kerja paling respon terhadap luas areal tanam kopi di Bengkulu.  Sedang harga kopi dan harga karet tidak respon. Respon produktivitas lahan kopi juga sangat dipengaruhi oleh upah tenaga kerja dan teknologi.  Sedang harga kopi dan luas areal tidak respon terhadap produktivitas. Kemudian pengembangan luas areal tanam baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang lebih respon terhadap perubahan harga dan upah tenaga kerja dibanding dengan peningkatan produktivitas. Oleh karena itu jika terjadi perubahan harga kopi atau upah tenaga kerja maka kebijaksanaan peningkatan penawaran yang lebih baik dilakukan adalah pengembangan luas areal tanam dibandingkan dengan peningkatan produktivitas lahan.

Kopi Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Kopi pada saat digoreng di Toko Aroma, Bandung, Indonesia
Pengolahan kopi di Sumatra, Indonesia.
Kopi Indonesia saat ini menempati peringkat keempat terbesar di dunia dari segi hasil produksi. Kopi di Indonesia memiliki sejarah panjang dan memiliki peranan penting bagi pertumbuhan perekonomian masyarakat di Indonesia. Indonesia diberkati dengan letak geografisnya yang sangat cocok difungsikan sebagai lahan perkebunan kopi. Letak Indonesia sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi.

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Asal-usul

Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830—1870) masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah Belanda membuka sebuah perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau Sumatera dan sebahagian Indonesia Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores. Pada permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah penjajahan Belanda sempat memutuskan untuk mencoba menggantinya denga jenis Kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun didaerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama meskipun jenis kopi yang dibudidayakan disana juga kopi Arabica.
Biji kopi yang telah digoreng
Pemerintah Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. Kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika sedikit lebih besar dari biji kopi Arabika dan kopi Robusta. sebenarnya, perkebunan kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dimana buruh perkebunan kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.

[sunting] Status industri saat ini

Robusta menggantikan kopi Liberika. Walaupun ini bukan kopi yang khas bagi Indonesia, kopi ini menjadi bahan ekspor yang penting di Indonesia.
Bencana alam, Perang Dunia II dan perjuangan kemerdekaan - semuanya mempunyai peranan penting bagi kopi di Indonesia. Pada awal abad ke-20 perkebunan kopi berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda. Infrastruktur dikembangkan untuk mempermudah perdagangan kopi. Sebelum Perang Dunia II di Jawa Tengah terdapat jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut kopi, gula, merica, teh dan tembakau ke Semarang untuk kemudian diangkut dengan kapal laut. Kopi yang ditanam di Jawa Tengah umumnya adalah kopi Arabika. Kopi Arabika juga banyak diproduksi di kebun - kebun seperti (Kayumas, Blawan, Kalisat/Jampit)di Bondowoso, Jawa Timur. Sedangkan kopi robusta di Jawa Timur, banyak diproduksi dari kebun - kebun seperti Ngrangkah Pawon (Kediri), Bangelan (Malang), Malangsari, Kaliselogiri (Banyuwangi). Di daerah pegunungan dari Jember hingga Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi Arabika dan Robusta. Kopi Robusta tumbuh di daerah rendah sedangkan kopi Arabika tumbuh di daerah tinggi.
Setelah kemerdekaan banyak perkebunan kopi yang diambil alih oleh pemerintah yang baru atau ditinggalkan. Saat ini sekitar 92% produksi kopi berada di bawah petani-petani kecil atau koperasi.

[sunting] Referensi

Rabu, 09 November 2011

Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830—1870) masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah Belanda membuka sebuah perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau Sumatera dan sebahagian Indonesia Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores. Pada permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah penjajahan Belanda sempat memutuskan untuk mencoba menggantinya denga jenis Kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun didaerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama meskipun jenis kopi yang dibudidayakan disana juga kopi Arabica.
Biji kopi yang telah digoreng
Pemerintah Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. Kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika sedikit lebih besar dari biji kopi Arabika dan kopi Robusta. sebenarnya, perkebunan kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dimana buruh perkebunan kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.