Kabupatenku Ditengah Kebun Kopi
Oleh Win Ruhdi Bathin*
Karena sudah
terbiasa hidup ditengah kebun kopi bersama keluarga dan saudara yang
menjadi petani kopi. Kopi menjadi biasa saja.Sudah tradisi dimana setiap
keluarga di Gayo, jika tidak bekerja dengan pemerintah ya, jadi petani
kopi.
Membuka lahan perkebunan baru merupakan salah satu kebiasaan warga Gayo. Dalam istilah pepatah Gayo sering diucapkan, “sempit ngenaken lues. Nyanya ngenaken temas”,. Maksudnya hijrah dari suatu kampong atau keadaan guna merubah hidup lebih baik. uten berpancang, belang bertene.
Jika seorang anak sudah tamat sekolah
menengah atas, dan tidak melanjutkan pendidikan, dia akan pergi bersama
warga sekampung membuka lahan hutan untuk dijadikan kebun kopi.
Biasanya, warga satu Kampung, akan membentuk suatu kelompok mencari
lahan baru.
Jamaknya, hutan yang akan di tebang ini
dijaga dan dikuasai seorang warga setempat yang telah terlebih dahulu
menetap disana. Orang seperti ini disebut Pawang Uten (Hutan) . Siapapun
yang akan membuka lahan, akan ditunjukkan sang pawang hutan, kawasan
mana yang belum memiliki pemilik.
Pawang hutan tidak membatasi berapa
hektar lahan yang akan diklaim. Yang penting uang pancang diberikan pada
pawang hutan. Satu pancang ukurannya adalah dua hektar . Biasanya harga
satu pancang tidak mahal. Hanya ratusan ribu saja.
Setelah sepakat, mulailah hutan yang
sudah dibagikan tersebut dirintis, ditebang. Tak ada pilihan lain. Hanya
menjadi petani kebun kopi saja yang menerima lapangan pekerjaan paling
besar dan luas. Apalagi topografi Takengon diwilayah tengah Aceh dan
merupakan dataran tinggi bagian dari rangkaian Bukit Barisan. Juga
sebagian wilayahnya adalah Kawasan Ekosistim Leuser yang megah itu.
Meski aku bukan dari keluarga petani,
karena Bapak adalah pns di dinas kesehatan sementara ibu adalah guru,
namun berkebun kopi “seperti” sebuah kewajiban. Semac`am faham. Tidak
lengkap hidup tanpa kebun kopi.
Bapakku, saat sebelum menjadi pns dan
masih lajang (disebut dengan sebutan Pak Mantri atau Menteri).
Mengikuti kebiasaan “Munene”, atau mencari lahan perkebunan baru,Puluhan
tahun silam. Dari sebuah Kampung tradisional yang hingga kini masih
ada, Kebayakan ke wilayah Kabupaten Bener Meriah, di Kampung Bathin
Kecamatan Bandar.
Mereka Munene dengan berjalan kaki.
Melewati gunung pembatas dua kabupaten Aceh Tengah dan Redelong, Ujung
Karang yang kemudian sewaktu masih ada HPH di Takengon disebut dengan
Bur Oregon.
Berkebun kopi adalah pilihan hidup utama
warga Gayo. Ilmu berkebun kopi didapat warga Takengon karena
sebelumnya Belanda sudah membuat perkebunan kopi modern. Di lokasi Burni
Bius dan Bergendal.
Ilmu tersebut tersebar secara
tradisional .Paska Belanda yang hengkang karena masuknya Jepang di era
pra kemerdekaan, perkebunan milik Belanda oleh penduduk setempat
dibagi-bagikan. Perubahan kepemilikan lahan. Perkebunan Belanda hilang
digantikan kebun warga .
Tak ada kawasan Bukit, gunung, dan
lembah yang tidak terisi batang kopi. Sepanjang mata memandang.
Sepanjang hamparan. Meski semakin jauh kepedalaman sekalipun. Disana aka
ada batang kopi dengan naungan batang petai.
Baris-baris kopi ini menjadi sumber
utama ekonomi warga. Seperti napas untuk hidup .Di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah serta sebagian Gayo Lues.
——-
Aceh Tengah terletak pada koordinat:
4°10”-4°58” LU dan 96°18”–96°22” BT. Merupakan kawasan pegunungan .
Belanda menjadikan kawasan Takengon sebagai kawasan peristirahatan dan
perkebunan kopi mereka, seperti ditulis. John R Bowen , Di tahun 1924
Belanda dan investor Eropa telah memulai menjadikan lahan didominasi
tanaman kopi, teh dan sayuran (John R Bowen, Sumatran Politics and
Poetics, Gayo History 1900-1989, halaman76).
Kemudian, pada Tahun 1933, di Takengon,
13.000 hektar lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai
komoditas “Product for future”. Masyarakat Gayo, tulis John R Bowen,
sangat cepat menerima (mengadopsi) tanaman baru dan menanaminya di
lahan-lahan terbatas warga. Perkampungan baru di era tersebut, terutama
di sepanjang jalan dibersihkan untuk ditanami kopi kualitas ekspor.
Tahun 1920 Belanda mulai membawa tenaga kerja kontrak dari Jawa ke Gayo,
untuk menjadi pekerja di perusahaan dammar (pinus mercusi).
Beberapa tulisan saya bisa dilihat tulisan ini juga dimuat di (http://keniGayo.wordpress.com/tag/win-ruhdi-bathin/)dan. Kopi Gayo Made In Belanda, pernah saya tulis untuk Pantau Aceh (http://pantau.co.cc/berita-596-.html).
Meski sudah seratusan tahun lebih
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah bergelut dengan kopi, kemajuan
dan perkembangan kopi terbilang lambat dan sangat lambat. Kelamnya nasib
petani kopi tergambar dalam berbagai tulisan.
Salah bukti ketertinggalan sector kopi
paska Belanda ditunjukkan dengan produksi kopi perhektar pertahun masih
antara 600-700 Kg/ha/tahun. Semuanya dijual keluar (eksport) dalam
bentuk bahan mentah kopi atau green bean.
Negara-negara yang mengimport kopi Gayo,
menjadikan kopi biji hijau (KBH) atau green bean untuk berbagai
kebutuhan komersial. Diantaranya untuk gerai-gerai kedai kopi terkemuka.
Seperti Star Buck. Star Buck, selain menyediakan kopi arabika Gayo,
juga mengambil kopi ternama dari antero dunia.
Pada tahun 2006/2007 eksport kopi
arabika dari pelabuhan Belawan Medan, sebanyak 48.637 ton dengan nilai
Rp.150,4 juta dolar Amerika.Dataran tinggi Gayo diperkirakan menyumbang
sekitar 50 persen dari total eksport kopi arabika lewat Belawan dengan
nilai sekitar 75,2 juta dolar Amerika atau sekitar Rp.690 milyar.
Kopi arabika Gayo dieksport dengan
beberapa nama, seperti, Mendheling Coffee, Sumatra Mandheling, Retro
Mandheling, Sumatra Gayo, Mandheling Gayo, Super Gayo dan Gayo Mountain
Coffee.Segment kopi arabika Gayo sebagian besar dipasarkan sebagai kopi
spesialti.
Beberapa sertifikat produk yang
berprinsip pada pertanian berkelanjutan telah dimiliki seperti, Organik,
Fairtrade dan Utz Kapeh.Beberapa eksportir sedang melakukan proses guna
mendapatkan sertifikasi CAFE Practices untuk penjualan khusu ke
Starbuck Coffee (Panduan Budidaya dan Pengelolaan Kopi Arabika, Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, tahun 2008).
——–
Meski kopi arabika Gayo lebih popular di
luar daerah dan bahkan diluar negeri. Di Takengon dan Bener Meriah
sendiri, warga Gayo lebih menyukai kopi jenis robusta sebagi menu
minuman kopi setiap harinya. Disetiap rumah tangga Gayo, kopi arabika
berupa bubuk kopi menjadi hidangan utama bagi tamu dan keluarga. Meski
luas lahan kopi arabika terus berkurang digantikan arabika yang lebih
disukai pasar luar.
Normalnya, warga Gayo minum kopi dua
kali sehari. Pagi dan petang. Tapi banyak juga yang meminum kopi tiga
kali sehari, seperti minum obat bahkan lebih. Setiap kali istirahat
bekerja di kebun dan sawah, kopi menjadi minuman saat istirahat. Bukan
minum air putih.
Kopi tumbuh hampir disemua kawasan
gunung dan lembah kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.Kecuali kawasan
hutan lindung. Selebihnya, dijadikan areal perkebunan kopi yang hingga
kini masih terus dibuka.(masukkan data ketinggian tempat)
Banyak cara membuka lahan hutan tropis
di Takengon dan Bener Meriah untuk kebun kopi..Batang-batang kayu yang
kaya varietas ini “mengerang” dibabat mesin chinsaw atau dipatuk-patuk
kapak-kapak petani. Rebah mencium bumi. Bersemayam menjadi “beje’
(pupuk) bumi.Muncullah batang kopi yang berasal dari biji yang disemai
di tanah subur.
—–
Bermula dari kebun kopi, muncullah
rumah-rumah sederhana. Rumah kebun. Semakin lama semakin berkembang.
Biasanya, setiap kali membuka lahan baru, petani kopi Gayo selalu
menyisakan bagian tanahnya untuk dijadikan jalan.
Waktu berubah, hutan menjadi kebun kopi.
Rumah semakin banyak, biasanya ditengah kebun kopi atau didekat jalan.
Jalan-jalan mulai dikeraskan mencapai areal perkebunan kopi sebagai
penghubung dan memobilisasi hasil panen.
Jadilah arela perkebunan kopi menjadi
Dusun, Kampung, Kumpulan Kampung-kampung ini menjadi satu Kemukiman dan
menginduk ke Kecamatan terdekat. Beginilah pola terciptanya kawasan
Kecamatan hingga Kabupaten di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Tak heran jika keadaan ini membuat
sebuah kota Kecamatan sekalipun berada ditengah jutaan hingga ratusan
juta batang kopi. Yang menjadi pemisah antara rumah dan kebun biasanya
hanyalah jalan. Selebihnya, setelah sedikit halaman, tumbuhan warga Gayo
adalah kopi dan kopi.
Sama halnya dengan kebun teh jika di
seputaran Jawa Barat .Hamparan kebun kopi dipisah oleh baris-baris kopi
yang cenderung membentuk pola tersendiri. Jarak antara tanaman kopi
dalam baris dan antar baris sangat variatif. Dahulu, jaran antara baris
kopi adalah 3 meter. Sementara jarak dalam baris kopi sekitar dua meter.
Di era belakangan ini, jarak ini semakin
sempit seiring ditemukannya varitas baru yang naungan kanopinya tidak
lebar. Jarak antar baris tidak sampai lagi tiga meter. Demikian halnya
jarak dalam baris kopi. Tergantung varietas kopi.
Menurut Uwein, dalam blognya . Awalnya
ada beberapa varietas kopi di Dataran Tinggi Gayo, seperti, Bergendal.
Varietas Bergendal termasuk varietas atau kultivar kopi Arabika lokal.
Dapat tumbuh di ketinggian 1.200 – 1.500 m dpl, sangat rentan terhadap
penyakit Karat Daun (Hemileia vastarix, B. et, Br), namun mempunyai mutu
yang sangat baik.
Varietas Ramong . Kopi Ramong
dicirikan oleh buahnya yang besar dan panjang, buah dan bijinya paling
besar di antara kultivar kopi arabika yang ada di Dataran Tinggi Gayo,
namun jenis ini sudah mulai jarang dijumpai, karena varietas ini
memerlukan tempat yang lebih lebar karna pertumbuhannya yang begitu
pesat.
Varietas Sidikalang .Varietas ini sangat
rentan terhadap penyakit karat daun (Hemileia vastarix, B. et,Br),
dapat tumbuh di ketinggian 1.200 – 1.500 m dpl. Varietas ini mempunyai
mutu yang sangat baik sehingga sangat disukai oleh konsumen di luar
negeri.
Kopi varietas Jember (Lini. S) .Di
Dataran Tinggi Gayo varietas ini banyak di tanam pada ketinggian sedang
(800 – 1000 m dpl), tahan terhadap penyakit Karat Daun (Hemileia
vastarix, B. et, Br), rentan terhadap serangan hama bubuk buah kopi
(Stephanoderes hampei. Ferr) dan hama penggerek batang (Zeuzera
Coffeae), selain itu varietas ini juga mempunyai mutu yang kurang baik
sehingga sudah mulai ditinggalkan oleh petani
Kopi Varietas Tim Tim Arabusta .Varietas
ini berasal dari Timor Timur yang merupakan hasil persilangan alami
antara kopi arabika dengan kopi robusta, mempunyai mutu fisik biji yang
sangat bagus namun tidak disukai oleh konsumen di luar negeri, karena
citarasanya masih diturunkan oleh kopi robusta.
Kopi Varietas Ateng Jaluk ( Catimor
Jaluk) .Varietas Catimor Jaluk oleh masyarakat tani lebih sering
menyebut dengan nama kopi Ateng. (uwein/the project OSRO). Selain
varietas ini masih banyak varietas lain yang muncul belakangan.
Varietas tersebut antara lain,
Timortimur, Borbor (Bourbon), Ateng Super (Katimor), Ateng Ilang Pucuk
(Katimor), Ateng Super (Katimor), P88 dan sejumlah varietas lainnya.
Dua varietas kopi di Gayo (Takengen dan
Redelong) yang sudah dijadikan kopi unggul , dilepas secara resmi oleh
pemerintah Indonesia dengan nama Gayo1 untuk Timortimur dan Gayo2 untuk
Borbor. Kedua varietas ini sudah melewati serangkaian penelitian ilmiah
di Bener Meriah (Redelong) dan memiliki rasa dan aroma yang disukai
konsumen.
Jika anda ke Dataran Tinggi Gayo di
Aceh, Sumatera, jangan heran jika memasuki wilayah Aceh Tengah dari
Pesisir Utara Aceh, Kabupaten Bireuen, yang berjarak 102 kilometer
menuju Ibu Kota Aceh Tengah, Takengon, jalan yang dilalui adalah kawasan
perbukitan yang terjal dan curam.
Suhu udara akan terus semakin dingin
seiring pertambahan ketinggian tempat Aceh Tengah yang berada 1200
Diatas permukaan laut (Dpl). Melewati perbatasan Aceh Tengah dan
Bireuen, suasana berubah drastic.
Pemandangan kebun karet, sawit, pinang,
kelapa dan coklat, digantikan kebun-kebun kopi disepanjang jalan Negara
ini. Petani kopi Gayo cenderung menanami kebun mereka dengan mono
kultur. Hanya pohon-pohon kopi.
Beberapa tanaman lain yang sering
dijadikan tanaman pelengkap selain varietas kopi berskala kecil adalah
jeruk. Terutama jeruk Keprok Gayo yang pernah memenangkan buah unggul
nasional beberapa tahun silam. Juga ditanami Alpukat. Naungan utama
kebun kopi adalah pete dalam bahasa local Gayo yang berarti lamtoro.
Tak ada lahan yang kosong kecuali
ditanami kopi. Kopi yang merupakan “napas ekonomi” sebagian besar rakyat
Gayo ditanam karena kemudahan penjualannya. Jika panen tiba, biasanya
setahun dua kali Selepas panen petani langsung menjual buah kopinya.
Kopi jenis ini disebut kopi gelondong
segar.Biasanya dijual dalam takaran kaleng. Jika dikilogramkan, satu
kaleng sekitar 12.1 kg. Satu kaleng sama dengan sepuluh bambo. Satu
bambo setara dengan dua liter. Kopi petani langsung dibeli agen kopi di
tingkat Kampung langsung dari kebun menggunakan kenderaan roda dua.
Uang “cash” ini langsung dipakai untuk
kebutuhan sehari-hari bagi keluarga petani. Begitu seterusnya. Di
tingkat agen, pembelian dari kopi-kopi petani setempat diolah. Kopi
gelondong merah dipisahkan dari kulit buahnya. Menggunakan sebuah alat
giling (pulping)
Kemudian difermentasi selama lebih
kurang 12 jam lalu dibersihkan dan dijemur untuk dijadikan kopi labu.
Kopi labu adalah kopi tanpa kulit tanduk hasil penggilingan (huller)
dengan kadar air sekitar 35-40 persen.
Agen, terkadang biasanya langsung
menjual kopi labu ini sesaat setelah penggilingan. Transaksi terjadi di
lokasi-lokasi penggilingan kopi. Oleh agen kopi yang lebih besar,
biasanya mangkal di mesin kopi , kopi labu dijadikan KBH (Kopi Biji
Hijau ) atau kopi beras (green). Kadar airnya sekitar 20 persen keatas.
Kopi ini disebut kopi asalan.
Kopi asalan dijual lagi ke pedagang yang
akan menjadikannya kopi yang siap diperdagangkan dengan kadar air
14-18 persen. Biasanya kopi ini dijual ke eksportir di Medan Sumatera
Utara.
Sangat sedikit persentase petani yang
menjadi pedagang kopi dengan cara mengolah kopi gelondong menjadi kopi
setengah jadi atau green bean. Konon lagi yang bergerak dibidang
pengolahan kopi roasting dan café modern dengan mesin espresso.
Namun di akhir-akhir ini, sekitar tiga
tahun belakangan, di Bener Meriah sudah ada warga setempat yang mengolah
kopi menjadi kopi roasting dan dijadikan bubuk kopi serta membuat café.
Namanya H Yusrin dengan merek Bergendal Kopi.
Selain Haji Yusrin, juga ada Wawan, yang
memakai produk Taiwan untuk mesin roastingnya dengan merek Premium
Coffee. Segelintir warga lainnya mengolah kopi dijadikan bubuk dengan
kemampuan dan pengetahun sendiri.
Sementara di Takengon, saya coba membuat
kopi olahan berupa café dengan mesin kopi espresso. Sangat prospek.
Hanya saja mimpi saya memiliki mesin roast masih sangat sulit terwujud
karena sangat mahal.
Padahal idealnya, selain menyediakan
kopi , sangat ideal memiliki mesin roast sehingga bisa memasuki segmen
kopi lainnya, yakni kopi bubuk. Karena segmen kopi bubuk dengan bahan
baku yang melimpah masih sangat terbuka lebar mengingat kopi Gayo sudah
mendunia.
Takengon dan Redelong , dua kabupaten di
tengah Aceh, NAD, merupakan kawasan yang semua wilayahnya dipagari
kopi. Jadi sangat layak jika Pemda kedua Kabupaten ini mulai
memproklamirkan diri sebagai kabupaten kopi di Indonesia.
Selain itu, dengan luasnya kopi
sepanjang kawasan dan mata memandang bak hamparan permadani hijau,
sangatlah layak kalau kawasan ini dijadikan agro wisata kopi. Sayang,
Pemda belum bisa membaca dan tertarik melihat potensi ini. Meski Belanda
saat menjajah dulu sejak seratusan tahun silam telah menjadikan kopi
salah satu komoditi eksport. Sayang sekali, visi dan misi dua kabupaten
terbesar penghasil kopi arabika di Asia, tidak jelas dibidang kopi.
Sayang seribu sayang . Padahal kedua bupati di kawasan pedalaman Aceh
itu adalah sarjana pertanian.
Belum lagi jika bertani tradisional
Gayo, yakni membajak sawah menggunakan hewan untuk mengolah sawah hingga
panen memakai cara tradisional , sangat layak dijadikan obyek wisata
bagi turis asing yang menyukai kearifan local yang tidak mereka dapat di
negara maju.
Semua Potensi ini belum dijadikan
“Modal” untuk dijadikan sumber lain bagi penduduk local dan PAD bagi
Pemda. Semuanya memerlukan sentuhan dan kebijakan pro rakyat , bukan pro
proyek yang bernilai fee bagi pemangku kepentingan serta alat politik
penguasa untuk tebar pesona. Tinggal nawaitu dan aksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar