Selasa, 15 November 2011

KOMPAS IMAGES/FIKRIA HIDAYAT
Warga menjemur biji kopi di permukiman kawasan kaki Gunung Tambora, Desa Pancasila, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Jumat (24/6/2011). Sebagian besar warga desa bertama pencaharian sebagai petani kopi.
Oleh Amir Sodikin dan Khaerul Anwar
KOMPAS - Hari itu mestinya menjadi hari istimewa dan dinanti-nantikan para pekerja kebun kopi Pemerintah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, di lereng Tambora karena musim panen perdana atau petik pilihan telah tiba. Namun, suasana terasa muram. Tak ada semangat yang terlihat dari pekerja untuk memetik kopi di perkebunan yang dirintis sejak 1930-an itu.
”Kita patut prihatin, panen kopi kali ini turun drastis,” kata Suparno, kepala perkebunan, di depan para pekerja. Tahun 2010, produksi kopi dari lahan sekitar 146 hektar masih mencapai 30 ton. ”Tahun ini diperkirakan hanya 15 ton,” ujarnya. Kendalanya, selain hujan terus, juga karena kurang perawatan.
Tak hanya hasil yang buruk, pencurian kopi juga merajalela. Lahan perkebunan seluas itu hanya ditangani oleh 47 pekerja yang kehilangan semangat. ”Kami hanya bekerja sesuai dengan gaji yang kami terima. Gaji tak menutupi kebutuhan sehari-hari. Jadi, buat apa bekerja total jika tak bisa makan juga?” keluh seorang pekerja.
Gaji karyawan yang hanya Rp 250.000 per bulan menjadi alasan utama kebun kopi milik negara yang dikelola pemerintah daerah tersebut dibiarkan tak terawat. Selain itu, para pekerja perkebunan ini lebih memprioritaskan kebun mereka dibandingkan dengan lahan milik perkebunan.
Kontras dengan perkebunan kopi milik negara yang tak terawat baik, kebun pribadi warga terlihat lebih subur. Rendahnya produksi kopi di perkebunan negara memang bukan karena kurang suburnya lahan, melainkan karena buruknya pengelolaan.
Sebelum letusan
Jejak kopi di kawasan ini sangat tua dan telah dibudidayakan sebelum letusan pada tahun 1815. Pada periode itu, Belanda telah menjalin perdagangan dengan tiga kerajaan di sana, yaitu Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar. Kopi menjadi komoditas penting.
Dokumen yang menyebutkan perdagangan kopi tersebut adalah catatan Kerajaan Bima atau Bo’ Sangaji Kai, yang dikompilasi Siti Maryam R Salahuddin bersama Henri Chambert-Loir. Disebutkan, telah ada perjanjian damai dan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di lereng Gunung Tambora dan Belanda, yang dilakukan di Makassar, 18 April 1701.
Temuan biji kopi, yang terarangkan karena terkubur awan panas, di kawasan yang diperkirakan pernah menjadi lokasi Kerajaan Tambora semakin menguatkan catatan sejarah itu.
”Di lokasi penggalian ditemukan cukup banyak biji kopi. Berarti tak terlalu jauh dengan kondisi sekarang, mata pencarian mereka juga dengan bertani kopi,” kata I Made Geria yang memimpin tim arkeolog dari Balai Arkeologi Bali.
Tanah dan ketinggian lahan di Tambora sangat cocok untuk tanaman kopi. Itu pula yang membuat seorang pengusaha Swedia, G Bjorklund, membuka perkebunan kopi seluas 80.000 hektar di lereng barat Tambora pada 1930. Pada masa Bjorklund inilah kopi Tambora dikenal hingga mancanegara.
Sejak 1943, perkebunan kopi ini kemudian dikelola oleh NV Pasuma dan pada 1977 dikelola oleh PT Bayu Aji Bima Sena selaku pemegang hak guna usaha dari Menteri Dalam Negeri. Namun, menjelang tahun 2001, perkebunan kopi itu kembali ditelantarkan tanpa perawatan dan gaji pegawai tak dibayarkan.
Penyerobotan lahan pun sempat merajalela. Pada periode itu, luas lahan produktif yang ditanami kopi hanya 80 hektar dari total area konsesi 254 hektar. Produktivitasnya juga rendah, hanya 150 kilogram per hektar.
Dengan alasan penyelamatan aset dan ancaman penyerobotan lahan dari mantan pegawai, Dinas Perkebunan Kabupaten Bima akhirnya mengambil alih kebun tersebut sejak 2002. Luas lahan ditingkatkan menjadi 146 hektar dan produktivitas kebun membaik menjadi 450 kilogram per hektar.
Pada awal transisi, setiap tahun, perkebunan ini memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah sebesar Rp 200 juta-Rp 300 juta. Sejak di tangan pemerintah daerah ini, penyerobotan lahan juga bisa ditekan. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, produktivitasnya kembali turun.
Menyimpan sejarah
Lahan perkebunan kopi di lereng Gunung Tambora tersebut diduga menyimpan sejarah yang berharga. Bekas Kerajaan Tambora yang terkubur letusan gunung pada 1815 diduga berada di sana.
Dugaan adanya artefak yang terkubur di perkebunan kopi itu disampaikan I Made Geria. ”Saya mencurigai pusat Kerajaan Tambora kemungkinan ada di lokasi bangunan untuk pekerja perkebunan kopi w

Tidak ada komentar:

Posting Komentar